Kidung Malam: Gajah Misterius

Nun jauh di perbatasan Negara Hastinapura, tersebutlah sebuah kasatrian, Panggombakan namanya. Di kasatrian tersebut Yamawidura tinggal bersama seorang istri, Dewi Padmarini anak Prabu Dipacandra, dan dua anaknya yaitu, Sanjaya dan Yuyutsuh. Sosok Yamawidura adalah titisan Bathara Dharma, dewa keadilan dan kebenaran, sifat-sifat itu ada dalam diri Yamawidura. Oleh karenanya di bawah kepemimpinannya, Panggombakan menjadi kasatrian yang aman, tentram, damai, adil dan sejahtera.

Malam itu, ketika para kawula kasatrian Panggombakan mulai berangkat ke peraduan, Yamawidura, Dewi Kunthi dan ke lima anaknya menginjakan kakinya di Panggombakan. Kedatangan mereka memang disengaja agar tidak diketahui banyak orang, kecuali anggota dan kerabat dekat kasatrian. Dewi Padmarini, Sanjaya dan Yuyutsuh, menyambut kedatangan tamu agung dengan sukacita.

Ada suasana yang berbeda, dibandingkan dengan kotaraja Hastinapura. di panggombakan, sebagian besar penduduknya tidak gila pangkat dan kedudukan. Mereka bekerja dengan tulus, tidak semata-mata mencari uang. Prinsip hidupnya adalah "urip samadya, ora ngaya" Yang didambakan adalah hidup berdampingan dengan tentram saling menghargai dan saling membantu. Itulah yang membuat Kunthi dan kelima anaknya kerasan tinggal di kasatrian Panggombakan

Namun walaupun begitu, masih ada sisa nestapa yang senantiasa membayangi Kunthi dan para Pandawa. Mengapa kepindahan mereka ke kasatrian Panggombakan disebabkan oleh tuduhan sebagai pengghasut kawula dan pengkhianat raja? Betapa hinanya sebutan itu. Ada keinginan untuk menjelaskan kepada kawula, bahwa mereka bukan penghasut, bukan pengkhianat. Namun bagaimana caranya?

"Penjelasan itu tidak perlu, ada saatnya kebusukan itu terkuak dan kebenaran akan memancar bersinar. Yang kita butuhkan adalah ketabahan dan kesabaran. Anak-anakku, percayalah, sesungguhnya kawula Hastinapura tidak bertindak semata-mata berdasarkan pikirannya, mereka bertindak berdasarkan kata hati yang jernih dan jujur. Tidaklah mudah untuk mempengaruhi mereka dengan tipudaya dan kepalsuan."

"Maafkan kami Pamanda Yamawidura, sesungguhnya dengan sebutan pengkhianat itu, kami menjadi semakin canggung untuk melangkah dan semakin ragu untuk bertindak.” “Orang canggung akan tersandung, orang ragu bagaikan sebuah batu yang beku. Melangkah salah, berhenti mati. Ibarat wastra lungset ing sampiran. Jiwa satria yang ada pada kalian akan menjadi pudar tanpa memberi manfaat bagi hidup dan kehidupan."

"Lantas apa yang harus kami lakukan Pamanda Yamawidura."

"Mengapa hal itu masih engkau tanyakan Puntadewa? Bukankah kakang Semar telah banyak memberikan wejangan. Lain di Kotaraja lain pula di Panggombakan. Di sini hampir tidak ada kepalsuan dan kemunafikan. Oleh karena itu, lakukanlah sesuai dengan nurani. Jangan ditunda lagi, sudah saatnya kalian berbuat. Menunggu artinya membuang waktu. Waktu yang telah berlalu akan menjadi semakin jauh meninggalkan kita, tanpa peduli apa yang kita kerjakan"

"Hmm, Paman Widura! aku ini orang bodhoh, jangan berputar-putar, bicaralah yang jelas, kami harus berbuat apa?"

"Baiklah Bima. Ada yang jauh lebih penting dari pada keinginan membasuh nama dari tuduhan pengkhianatan, yaitu manjing ajur-ajer menyatu dengan mereka, berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing. Mendengarkan suara mereka, melayani kebutuhan mereka, sepi ing pamrih rame ing gawe. Merasakan apa yang dirasakan mereka. Jika kalian siap melakukannya, mulailah dari kasatrian Panggombakan. Sekarang juga!"

Hari demi hari dilaluinya. Kebersamaan para ksatria Saptarengga ditengah-tengah kehidupan kawula Panggombakan, membuahkan hasil yang menggembirakan. Pelan namun pasti, tanah perdikan pemberian Pandudewanata tersebut mengalami kemajuan diberbagai bidang. Sikap ikhlas dan semangat melayani yang dibangun Puntadewa, Bimasena dan Harjuna tanpa disadarinya telah membasuh namanya. Kawula Panggombakan yang juga bagian dari rakyat Hastinapura dapat menilai dari dekat bahwa Puntadewa dan adik-adiknya tidak mempunyai jiwa pengkhianat seperti yang telah dituduhkan oleh penguasa negri. Mereka adalah para ksatria luhur, rendah hati dan sakti. Di pundak merekalah kawula Panggombakan khususnya dan rakyat Astinapura pada umumnya, menggantungkan masa depan Negara Hastinapura yang lebih baik.

Hari menjelang sore, ketika langit diujung kulon temaram sinarnya. Puntadewa dan Harjuna masih sibuk membantu warga desa yang sedang membuat jembatan bambu. Tiba-tiba dari arah hutan, munculah seekor gajah. Ukuran gajah itu empat kali lipat lebih besar dibandingkan dengan gajah pada umumnya. Gajah besar bergading panjang itu mengarahkan langkahnya menuju orang-orang yang berkerumun ditempat itu. Matanya yang sipit berusaha dibuka lebar-lebar, dan tampaklah betapa tajamnya ia memandang, seakan-akan tahu bahwa ia menjadi pusat perhatian. Orang-orang mulai kecemasan ketika gajah itu melangkah semakin dekat. Mereka mulai membayangkan jika belalainya yang kuat melilitnya, dan gadingnya yang panjang menghantamnya serta kakinya yang besar menginjaknya. Puntadewa dan Harjuna memberi isyarat kepada mereka untuk tetap tenang. Keanehan terjadi. Gajah yang pada awalnya garang menakutan, tatkala melihat Puntadewa dan Harjuna berubah menjadi gajah jinak dan bersahabat. Ia menghampiri mereka dan bersimpuh, sembari mengangkat belalainya. Semua mata memandang heran. Bukankah polah gajah semacam itu hanya bisa dilakukan oleh gajah tunggangan raja? Belum habis rasa herannya, belalai gajah tersebut mengangkat Puntadewa dan Harjuna untuk diletakan dipunggungnya. Segera sesudah itu ia berdiri, berjalan meninggalkan tempat itu. Suasana takut dan cemas yang menghantui orang-orang disekitarnya, berubah menjadi kegembiraan. Mereka segera meninggalkan pekerjaannya dan berlari-lari kecil, mengikuti gajah yang membawa Puntadewa dan Harjuna. Semakin panjang jalan yang dilalui, semakin bertambah pula orang-orang yang mengiringi.

Setelah berkeliling tanah Panggombakan, gajah tersebut melangkahkan kakinya ke arah kotaraja Hastinapura. Belum jauh meninggalkan tapal batas Panggombakan, tiba-tiba Semar muncul menghadang ditengah jalan.

"He he, berhenti!"

Gajah tersebut menghentikan langkahnya. Ia kelihatan bersalah dan malu-malu, tidak berani menatap mata Semar. Orang-orang heran menyaksikan peristiwa itu.

"Ayo kembali! Cepat!"

Gajah tersebut sangat patuh, seperti layaknya seorang abdi yang mendapat perintah tuannya, ia merubah arah, menuju ke rumah induk kasatrian Panggombakan.

Hari menjelang gelap, lampu-lampu minyak mulai dinyalakan. Namun orang-orang yang mengiringi Gajah misterius justru bertambah jumlahnya. Mereka ingin menyaksikan keanehan baru yang akan di lakukan oleh seekor gajah besar bergading panjang dan bermata tajam.

(Disadur dari Buku Kidung Malam karya Herjaka H.S.)

Post a Comment (0)
Waosan Sakderengipun Waosan Saklajengipun