Berita munculnya seekor gajah ramai dibicarakan. Banyak diantara para kawula Panggombakan datang ke Kasatrian, untuk melihat Gajah yang menggemparkan itu. Berbagai pertanyaan terlontar dari mulut mereka. Dari manakah gajah itu? milik siapa? Mengapa ia memperlakukan Puntadewa dan Harjuna bagaikan raja?
Seperti yang dilihat banyak orang, bahwa Gajah itu sangat patuh kepada Semar, maka dapat dipastikan bahwa Semar mengetahui asal usul dan sejarahnya. Dan karena itulah maka pada keesok harinya, Semar secara khusus menceritakan kepada orang-orang yang berkumpul di pendopo peri hal asal-usul Gajah tersebut. "Pada suatu malam, ketika Palasara bertapa di hutan Gajahoya, ia bermimpi bertemu seorang kakek tua bermahkota, begitulah Semar mengawali ceritanya. Kakek bermahkota tersebut mengaku bernama Prabu Hasti yang artinya Gajah. Ia menunjukkan sebuah dampar kayu berwarna hitam bercahaya. Dengan tersenyum ia berkata. "Aku akan membatumu untuk menjadi raja menduduki dampar ini" Palasara tertegun dengan mimpi itu. Sebagai seorang pertapa, bayangan menjadi raja jauh dari pikirannya. "Apakah aku akan menjadi raja, duduk di sebuah dampar hitam bercahaya seperti di dalam mimpiku kakang Semar?"
"Aku merasakan bahwa mimpi Raden akan menjadi kenyataan, walau hanya sekejap."
"Dimanakah aku mendapatkan dampar itu?"
"Dampar itu ada di sekitar hutan ini."
Oleh karena mimpinya, Raden Palasara menyetujui ketika beberapa pengikutnya dan Semar mencoba membuka sebagian dari hutan Gajah Oya untuk membangun keraton. Pada saat pembangunan hampir selesai, mereka menemukan sebuah pohon hitam. Dikatakan pohon hitam, karena batang dan daunnya berwarna hitam legam. "Inikah dampar itu?" Saya menggangguk pelan. Ketika kami akan menebang pohon hitam tersebut, ada seekor gajah besar tiba-tiba muncul dan menghalangi niat kami. Palasara memerintahkan pengikutnya untuk mundur, ia sendiri yang mendekati Gajah tersebut. Dengan penuh hormat Palasara memohon. "Bolehkah pohon itu kami tebang untuk membuat dhampar?" Sungguh aneh, Gajah itu mengangguk hormat. Ia tahu apa yang dimaksudkan Raden Palasara. Maka penebangan pohon hitam dimulai. Tanpa diperintah, Gajah itu membantu merobohkannya. Tepat pada saat selesainya pembangunan keraton, dhampar pun jadilah. Para pengikut Raden Palasara bersukacita. "Hidup Palasara! Hidup Sang Raja! Hari penobatanpun dipilih."
Tempat penobatan raja dihias meriah. tak terkecuali dampar tempat calon raja. Ketika segala sesuatu telah siap dan waktu yang ditentukan tiba, Raden Palasara memakai busana kebesaran atau busana raja diiringi para pengikutnya berjalan pelan menuju dampar pusaka. Suasana sungguh hening. Para kawula yang sejak awal membantu proses pembuatan keraton menanti-nanti saat seperti ini. Mereka tidak merelakan sedikitpun matanya berkedip, karena hal tersebut akan melewatkan detik-detik peristiwa langka, penobatan seorang raja. Pada saat segalanya hening, heneng, henung, jagad raya diam sekejap, tiba-tiba ada suara memecah menggelegar, yang berasal dari Gajah besar bergading panjang. Semua mata diarahkan ke padanya. Ia dengan tenang melangkah mendekati Palasara. dan secara mengejutkan belalainya yang kokoh menyambar, mengangkat dan membawanya untuk didudukan di atas dampar pusaka. Para kawula terkesiap. Sekejap darah di tubuh mereka bagaikan berhenti mengalir. Beberapa saat kemudian baru mereka sadar bahwa penobatan raja telah selesai. Palasara duduk diatas dampar pusaka dengan agungnya. Dampar kayu hitam tersebut bercahaya memenuhi ruangan. Para kawula bertepuk tangan penuh syukur. Raja baru telah dinobatkan dengan gelar Prabu Dipakiswara. Beliau raja menamakan negaranya Hastinapura. Sejenak kemudian perhatian para kawula yang hadir beralih pada Gajah yang baru saja mendudukkan Palasara di atas dhampar. Dengan lucunya Gajah itu menyembah hormat. Melihat tingkah laku Gajah yang mencoba bersikap seperti kawula terhadap rajanya, Sang Prabu Dipakiswara teringat kepada Prabu Hasti, orang tua bermahkota yang menjumpai dalam mimpinya yang berjanji akan membantunya menjadi raja. Apakah ada hubungannya antara Prabu Hasti dan Gajah ini? Gajah misterius itu diberi nama Antisura.
Pengangkatan calon raja oleh Gajah Antisura menjadi tradisi Jumenengan di Hastinapura. Sang pewaris tahta dikatakan sah jika ia didudukkan di atas dampar pusaka oleh Gajah Antisura. Karena hanya orang yang diangkat dan didudukkan oleh Gajah Antisura yang kuat duduk di atas dampar pusaka. Para pengganti Palasara secara berurutan, yaitu Prabu Sentanu, Abiyasa dan Pandudewanata juga di dudukan oleh gajah Antisura.
Pada waktu Pandu meninggalkan keraton dan menitipkan keraton kepada Destarastra, Antisura tidak mau mengangkat Destarastra ke dampar pusaka. Karena dipaksa oleh Patih Sengkuni, Gajah Antisura lari meninggalkan Hastinapura. "Kaka Prabu Destarastra, kita hilangkan saja tradisi jumenengan yang melibatkan Gajah Antisura. Karena pada kenyataannya Antisura tidak mau mengangkat Kakanda Prabu ke dampar pusaka." kata Patih Sengkuni kepada Destarastra. Namun sungguh aneh, ketika Destarastra mencoba sendiri duduk di atas dampar pusaka, ia terlempar. Berkali-kali dicoba, Destarastra terlempar. Maka atas saran Patih Sengkuni dhampar pusaka yang berwarna hitam bercahaya itu disingkirkan, dan diganti dengan dhampar buatan baru yang lebih mewah dan indah.
Beberapa tahun telah berlalu, orang telah mulai melupakan sosok Gajah keramat yang selalu hadir dalam upacara jumenengan dan kirab-kirab agung raja. "Tetapi mengapa gajah Antisura tiba-tiba muncul di Panggombakan dan mengangkat Puntadewa dan Arjuna"
"Saya tidak tahu persis ke mana Gajah Antisura itu pergi menyusul penobatan Destarastra, meninggalkan Hastinapura. Menurut dugaanku, ia mencari Pandudewanata untuk dibawa kembali dan didudukkan di Dampar Pusaka. Namun tidak pernah ketemu, karena Prabu Pandu telah wafat. Maka ketika ia bertemu dengan anak-anak Pandudewanata, ia mengangkat Puntadewa dan Harjuna, yang dianggap sebagai pewaris tahta yang sah." Demikianlah semar mengakhiri ceritanya sosok Gajah Antisura.
(Disadur dari Buku Kidung Malam karya Herjaka H.S.)