Alkisah, Isa putra Siti Maria telah tumbuh menjadi seorang pemuda berusia delapan belas tahun. Sejak lima tahun yang lalu ia ikut kerabatnya berdgang di tanah Hindustan. Di sana ia belajar tentang samadi dan tata cara menyembah Tuhan.
Isa memiliki kepandaian di atas rata-rata manusia biasa. Dalam waktu singkat ia telah menyerap semua ilmu yang dipelajarinya. Bahkan, pengikutnya bertambah banyak. Di antaranya adalah orang-orang yang tidak mau tunduk dan menyembah Batara Guru.
Pada suatu hari para pengikutnya memohon supaya Isa menindak tegas para dewa yang dikepalai Batara Guru itu, karena mereka menyebarkan ajaran yang mereka anggap sesat. Antara lain, penduduk hindustan banyak yang mempertuhankan Batara Guru.
Nabi Isa menolak permohonan itu, namun para pengikutnya terus saja mendesak. Ia pun mengheningkan cipta memohon petunjuk kepada Tuhan apa yang seharusnya dilakukan.
Tuhan mengizinkan Nabi Isa untuk memberi pelajaran kepada pihak kahyangan Tengguru. Maka, nabi Isa pun menciptakan seekor burung merpati dari tanah liat. Burung tersebut diperintahkannya untuk memberi pelajaran kepada Batara Guru yang berkahyangan di puncak Himalaya.
Burung itu datang ke Kahyangan Tengguru. Menyadari gelagat yang kurang baik, Batara Guru pun memerintahkan para prajurit untuk menangkap burung itu, namun tidak ada yang mampu. Burung itu bisa berbicara dan mengaku sebagai utusan Tuhan untuk menghukum Batara Guru.
Batara Guru murka dan memerintahkan para dewa untuk memusnahkan burung tersebut. Tetapi burung merpati itu mampu melawan dengan menyemburkan bisa panas. Para dewa banyak yang jatuh pingsan, dan bangunan kahyangan meleleh terkena bisa panas itu. Panasnya sepuluh kali lipat lahar gunung berapi.
Karena Kahyangan Tengguru rusak parah, Batara Guru memutuskan untuk mengungsi ke arah timur. Semua dewa dan bidadari ikut serta, meninggalkan Gunung Tengguru kosong begitu saja.
Perjalanan Batara Guru dan rombongan sampai di sebuah pulau yang sangat panjang. Burung merpati ciptaan Nabi Isa masih terus mengejarnya. Sejak tadi Batara Wisnu ingin menghancurkan burung itu namun belum mendapat perintah. Baru kali ini perintah yang ia tunggu-tunggu akhirnya diucapkan pula oleh Batara Guru.
Batara Wisnu segera melepaskan Senjata Cakra ke arah burung merpati. Burung tersebut hancur seketika. Bangkainya jatuh di kaki Gunung Marapi dan berubah menjadi telaga yang jernih airnya.
Para dewa dan bidadari tidak tahu apa yang terjadi. Karena haus dan merasa panas mereka pun meminum air telaga tersebut. Ternyata telaga itu mengandung racun yang mematikan. Satu per satu para dewa dan bidadari roboh tak sadarkan diri, kecuali Batara Guru dan Batara Wisnu.
Batara Guru kemudian menghisap semua racun dalam telaga itu untuk mengamankannya. Racun tersebut akhitnya bersarang di kerongkongannya sehingga mengakibatkan leher Batara Guru belang berwarna biru. Sejak saat itu ia pun terkenal dengan sebutan Batara Nilakanta.
Batarqa Guru kemudian memerintahkan Batara Wisnu untuk mengobati semua dewa-dewi yang terluka. Dengan menggunakan tetesan air Tirtamarta Kamandalu, mereka semua bisa sadar kembali.
Batara Guru kemudian terbang di angkasa mengendarai Lembu Andini untuk mengamati pulau panjang itu. Pulau tersebut sangat panjang, membentang dari daerah Aceh sampai Bali. Karena sangat panjang, Batara Guru pun memberinya nama Pulau Jawa.
Batara Guru kemudian menemukan gunung yang cocok untuk mendirikan kahyangan baru. Gunung tersebut bernama Gunung Mahendra. Dalam waktu singkat bangunan kahyangan yang serba indah pun berdiri. Batara Guru memberinya nama Kahyangan Argadumilah.
Sementara itu Prabu Iwasaka di Negeri Surati sedih mendengar kejadian yang menimpa Batara Guru. Ia pun kembali menjadi Batara Anggajali dan menyerahkan takhta kerajaan kepada Jaka Sengkala, putranya. Jaka Sengkala lalu menjadi raja bergelar Prabu Ajisaka.
Batara Anggajali kemudian menyusul Batara Guru ke Pulau Jawa. Di sana ia bertemu sang ayah yaitu Batara Ramayadi. Keduanya menghadap Batara Guru dan diperintahkan untuk kembali membuat pusaka kahyangan. Keduanya mengerjakan perintah Batara Guru tersebut di atas puncak Gunung Candrageni.