Dua belas tahun setelah penaklukan Lembu Andana, Sri Maharaja Dewa Buda membuat seperangkat alat musik yang diberi nama Lokananta. Masyarakat lebih mengenalnya sebagai gamelan Lokananta. Selain itu juga menciptakan tari-tarian dan lagu. Ini adalah awal mula masyarakat Jawa mengenal kesenian.
Tiga tahun kemudian, Sri Maharaja Dewa Buda bermimpi menemukan emas permata. Esok paginya ia menemukan emas permata di puncak Gunung Mahendra. Karena senang hatinya, ia pun menjadi lupa diri dan membuat peraturan bahwa barangsiapa yang bermimpi pada malam hari maka harus melakukan apa yang dimimpikan itu pada keesokan harinya. Peraturan itu harus dipatuhi, jika mimpi mandi maka esoknya harus mandi. Akibatnya rakyat menjadi ketakutan. Mereka tidak berani tidur karena takut bermimpi buruk.
Tersebutlah seorang raksasa bernama Ditya Atmira yang mempunyai anak berwujud raksasi bernama Waktri. Konon Waktri bermimpi menjadi istri Sri Maharaja Dewa Buda. Maka berangkatlah ia dengan ayahnya untuk menghadap Sri Maharaja Dewa Buda mewujudkan impian tersebut. Sri Maharaja Dewa Buda menyambut kedatangan mereka dengan baik-baik. Setelah mereka mengutarakan maksud kedatangannya, Sri Maharaja Dewa Buda juga mengaku telah bermimpi menikah dengan seorang raksasi bernama Waktri namun hanya sebentar saja dan kemudian diberikan kepada Cingkarabala sang penjaga gerbang. Waktri tidak bisa membantah, ia pun mematuhi perkataan Sri Maharaja Dewa Buda itu.
Pada suatu hari, seekor harimau menghadap untuk meminta keadilan. Ia mengaku bermimpi memangsa seekor kijang. Namun kijang itu menolak untuk dimangsa, pada keesokan harinya. Sri Maharaja Dewa Buda pun memanggil kijang itu dan menanyakan alasan penolakannya. Si kijang mengaku bahwa ia hanya mengikuti saran dari Si kera untuk tidak mematuhi aturan Sri Maharaja Dewa Buda. Mendengar itu Sri Maharaja Dewa Buda murka dan mengutuk kera menjadi mangsa harimau untuk selamanya.
Tersebutlah seekor bunglon yang merasa kasihan atas penderitaan rakyat Medang Kamulan karena harus wajib melaksanakan mimpinya. Maka ia pun menghadap Sri Maharaja Dewa Buda untuk menyampaikan keluhan rakyat. Meskipun menggunakan bahasa yang sangat halus, namun mengena di hati Sri Maharaja Dewa Buda. Sang raja pun marah bercampur malu. Akhirnya ia muksa dan kembali ke kahyangan Jonggring Salaka di Gunung Himalaya dan kembali menjadi Batara Guru.
Sepeninggal Batara Guru yang menjadi Sri Maharaja Dewa Buda, kerajaan Medang Kamulan menjadi kosong dan akhirnya runtuh karena tidak mempunyai raja pengganti.