Serat Paramayoga: Cupu Linggamanik

Setelah lima belas tahun berkahyangan di Argadumilah, Batara Guru mendengar kabar bahwa Nabi Isa telah meninggal dunia. Ia pun mengajak semua para dewa dan bidadari untuk meninggalkan Pulau Jawa, kembali ke Pegunungan Himalaya.

Namun Kahyangan Gunung Tengguru telah rusak parah akibat serangan burung merpati ciptaan Nabi Isa dulu. Maka Batara Guru pun membangun kahyangan baru di puncak lain Himalaya, yaitu di Gunung Kelasa. Kahyangan tersebut diberi nama Kahyanagan Jonggringsalaka, karena memancarkan cahaya berwarna keperak-perakan.

Pada suatu hari Batara Guru mendapat laporan bahwa di tengah lautan sana terdapat seberkas sinar tegak menembus langit. Ia pun mengutus para dewa untuk menyelidiki aasal-usul sinar tersebut.

Para dewa sampai di tempat yang dimaksud. Ternyata sinar tegak tersebut berasal dari seorang maharesi bernama Batara Narada yang sedang bertapa duduk di atas air laut. Para dewa berusaha membangunkan Narada namun tidak seorang pun yang mampu melakukannya. Justru sebaliknya, para dewa yang tidak kuat terkena hawa panas yang dipancarkan Narada.

Para dewa kembali ke hadapan Batara Guru melaporkan kegagalan mereka. Batara Guru memutuskan untuk berangkat sendiri menghadapi Narada. Sesampainya di tempat tujuan, Batara Guru segera memperkenalkan diri sebagai penguasa dunia, sesembahan para makhluk hidup. Narada pun membuka mata. Dalam sekejap mereka langsung terlibat perdebatan adu kepandaian.

Adu kepandaian itu berlanjut dengan adu kesaktian. Wujud Batara Narada yang semula tampan berubah menjadi cebol dan buruk rupa akibat sabda Batara Guru. Sebaliknya, Batara Guru sendiri sejak saat itu memilki empat buah lengan akibat sabda Batara Narada.

Batara Guru menyadari kesalahannya. Ia mengakui kalau Narada lebih cerdas dan lebih bijaksana dibanding dirinya. Ia pun mengakui Narada sebagai kakak dan mengangkatnya sebagai penasihat kahyangan. Sebaliknya, Narada juga minta maaf atas perbuatannya. Ia menerima ajakan Batara Guru untuk bergabung di Jonggringsalaka dengan senang hati.

Batara Narada tidak lain memang masih saudara tua Batara Guru. Dahulu kala Batara Guru tercipta dari kuning telur yang dilahirkan Dewi Rakti, istri Sanghyang Tunggal. Sementara itu, Batara Narada tercipta dari cahaya yang menyelubungi telur tersebut. Sejak tercipta dulu, Narada diambil sebagai anak Sanghyang Caturkanaka.

Setelah bergabung di Jonggringsalaka, Narada mempersembahkan pusakanya yang bernama Cupu Linggamanik sebagai pusaka kahyangan.

Pada suatu hari Cupu Linggamanik tiba-tiba melesat hilang dari gedung pusaka. Batara Guru memerintahkan para dewa untuk mencari hilangnya cupu tersebut. Ternyata cupu itu jatuh ke dalam mulut seekor naga yang sedang bertapa.

Naga itu bernama Sesa yang bertapa untuk mendapatkan derajat yang lebih tinggi. Para dewa berusaha mengambil cupu itu dari mulut Sesa namun tidak ada yang mampu menandingi kesaktian naga tersebut.

Para dewa kembali ke Jonggringsalaka melaporkan kegagalan mereka. Batara Guru kembali harus turun sendiri menghadapi Sesa. Di hadapan naga tersebut ia memperkenalkan diri sebagai raja para dewa. Sesa menghaturkan sembah bakti dan menyerahkan Cupu Linggamanik kepadanya. Batara Guru berkenan menerimanya dan mengabulkan maksud dan tujuan Sesa bertapa. Sejak saat itu Sesa diangkat sebagai dewa kaum naga dan ular, dengan bergelar Batara Anantaboga.

Sumber

Post a Comment (0)
Waosan Sakderengipun Waosan Saklajengipun