Serat Paramayoga: Penumbalan Tanah Jawa

Prabu Ajisaka yang bertakhta di Kerajaan Surati terpaksa harus meninggalkan negerinya karena hancur oleh serbuan musuh. Ia kemudian mengungsi ke hutan dan ditemui oleh Batara Anggajali. Ayahnya itu menyarankan agar ia bertapa di Pulau Jawa yang kini sudah ditinggalkan Batara Guru.

Ajisaka tiba di Pulau Jawa. Di sana ia berganti nama menjadi Mpu Sangkala dan bertempat di Gunung Hyang. Saat pertama kali ia membuka gunung tersebut ditetapkan sebagai permulaan tahun Sangkala.

Setiap hari Mpu Sangkala senantiasa bersamadi memuja Tuhan Yang Mahakuasa. Pada hari pertama ia didatangi seberkas cahaya putih yang di dalamnya terdapat seorang putri cantik mengaku bernama Batari Sri. Maka itu, hari pertama dalam penanggalan Sangkala disebut hari Sri.

Pada hari kedua Mpu Sangkala bersamadi didatangi cahaya kuning yang di dalamnya terdapat seorang raksasa bernama Batara Kala. Oleh karena itu hari kedua dinamakan hari Kala.

Pada hari ketiga Mpu Sangkala didatangi cahaya merah yang di dalamnya terdapat seorang brahmana bernama Batara Brahma. Maka hari ketiga pun diberi nama hari Brahma.

Pada hari keempat Mpu Sangkala didatangi cahaya hitam yang di dalamnya terdapat seorang kesatria bernama Batara Wisnu. Maka itu, hari keempat pun diberi nama hari Wisnu.

Pada hari kelima Mpu Sangkala didatangi cahaya hijau warna-warni yang di dalamnya terdapat sosok Batara Guru. Maka itu, hari kelima dalam penanggalan Sangkala disebut dengan nama hari Guru.

Pada hari berikutnya Mpu Sangkala mulai mengubah-ubah cara samadinya. Pada hari Sri ia bersamadi menghadap ke timur, pada hari Kala menghadap ke selatan, pada hari Brahma menghadap ke barat, pada hari Wisnu menghadap ke utara, dan pada hari guru menghadap ke angkasa dan bumi.

Tersebutlah seorang raja di negeri Rum bernama Sultan Galbah yang pada suatu hari bermimpi mendapat perintah Tuhan supaya mengisi Pulau Jawa yang masih kosong dengan penduduk. Maka Sultan Galbah pun mengirim 20.000 keluarga untuk berlayar menuju ke Pulau Jawa.

Setelah sampai di Pulau Jawa, orang-orang Rum banyak yang terserang penyakit dan wabah lainnya. Jumlah yang tersisa hanya tinggal 2.000 keluarga. Setahun kemudian kembali jumlah itu berkurang akibat bencana alam. Yang tersisa hidup hanya tinggal 200 keluarga. Mereka yang masih hidup berkumpul di Tegal Purama. Tahun berikutnya jumlah sekian itu banyak lagi yang tewas, sehingga yang tersisa hanya 20 keluarga. Jumlah ini akhirnya memutuskan pulang ke Rum.

Sultan Galbah sedih mendengar laporan tentang kegagalan rakyatnya dalam menghuni tanah Jawa.  Kemudian ia mengutus pandita Usmanaji untuk memasang tumbal di Pulau Jawa agar keangkerannya berkurang. Rombongan Usmanaji akhirnya sampai di Pulau Jawa dan segera memeriksa keadaan di situ.

Dengan kesaktiannya Usmanaji dapat bertemu dengan Mpu Sangkala yang sedang bertapa di Gunung Hyang; yang tidak lain merupakan muridnya sendiri. Setelah menceritakan semua riwayatnya, Mpu Sangkala mendapat tambahan ilmu kesaktian dari Usmanaji dan kemudian bergabung dengan rombongan gurunya itu.

Usmanaji dan Mpu Sangkala bekerjasama memasang tumbal di empat penjuru dan titik tengah Pulau Jawa dengan disaksikan para pandita Negeri Rum. Keesokan harinya terjadilah bencana yang dahsyat di segenap tempat yang telah ditanami tumbal. Pada hari selanjutnya terdengar tangisan para makhluk halus yang kesakitan luar biasa dan mereka mengungsi ke dua arah yaitu laut selatan dan laut utara Pulau Jawa.

Setelah 21 hari berlalu, Usmanaji kembali ke Negeri Rum dan Mpu Sangkala ikut serta. Sultan Galbah menyambut kedatangan mereka dengan sukacita. Usmanaji kembali ke negeri Banisrail. Mpu Sangkala juga menyertai sang guru untuk memperdalam ilmunya, dan memperoleh nama baru yaitu Pandita Iksaka.

Sumber

Post a Comment (0)
Waosan Sakderengipun Waosan Saklajengipun